Novel Seribu Bangau : Lirih, Rumit & Kental


Jujur saja aku tidak tahu menahu siapa itu Yasunari Kawabata, bahkan namanya sangat asing di telingaku. Namun lewat novel Seribu Bangau ini lah aku sedikit tahu tentang Yasunari Kawabata. Lalu bagaimana ceritanya sampai aku mempunyai novel luar biasa ini. Ceritanya begini :
Di tahun-tahun awal aku ngeblog, aku kenal (di Kompasiana) dengan seorang perempuan yang suka nulis fiksi dan juga baca novel tentunya, namanya Endah Raharjo. Beliau juga pernah menulis sebuah novel yang berjudul Senja Di Chao Phraya (2012). Nah ketika tanpa senghaja membaca status beliau di facebook tentang menerjemahkan novel, maka aku pun bertanya tentang novel yang sudah diterjemahkannya. Dan Seribu Bangai ini lah novel pertama yang diterjemahkannya.
Okey sekian dulu cerita tentang bagaimana aku bisa tahu tentang novel ini. Kembali ke hal-hal yang membuat aku suka dengan novel Seribu Bangau ini.
Seperti kebanyakan novel-novel Jepang yang pernah kubaca, Seribu Bangau juga masih menghadirkan kesan tradisional yang kental, serta budaya yang sangat Jepang sekali. Hal yang aku maksud di sini adalah tentang Upacara Minum Teh. Lewat Upacara Minum Teh lah hal-hal yang luar biasa mengejutkan menciptakan kesan di novel ini. Sebuah upacara yang ternyata menghubungkan kisah di masa lalu atau kisah orang-orang yang sudah meninggal dengan orang-orang yang masih hidup, terutama untuk tokoh utama dalam novel ini, yaitu Kikuji.
Novel yang terbilang tipis ini ternyata memiliki konflik cerita yang pelik dan tidak terduga. Tentang cinta dan merelakan, tentang luka dan sakit hati yang berkepanjangan, tentang ingatan masa lalu, balas budi serta garisan takdir. Padahal novel ini pertama kali terbit pada tahun 1956, namun tema cerita yang diangkat masih terasa mudah diterima, seakan tulisan Kawabata ini menjadi sesuatu yang abadi seperti karya Romeo & Juliet yang masih disukai hingga sekarang.
Memang menurut apa yang sudah aku baca dan reset sedikit tentang Kawabata, novel paling penomenal yang pernah ditulisnya adalah Snow Country (1956), karena novel itu memenangkan hadiah nobel pada tahun 1968. Namun bukan berarti novel Seribu Bangau ini tidak bagus. Malah menurutku novel ini punya gaya tarik tersendiri dengan kekuatan yang ditampilkan lewat sifat tokoh-tokohnya yang kuat dan berkarakter. Jelas sekali bahwa Kawabata mengerjakan pengembangan karakter dengan sangat rapi, hal ini bisa menjadi pelajaran bagi aku yang suka nulis untuk memperdalam pengembangan karakter dalam sebuah novel.
Terkadang banyak sekali penulis pemula yang menulis sebuah novel tanpa membuat perencanaan yang matang sehingga pada akhirnya tulisan mereka buntu ditengah jalan. Nah salah satu tahap yang harus dilakukan seorang penulis adalah membuat pengembangan karakter sebelum atau setelah membuat kerangka cerita. Tujuannya tidak lain adalah mempermudah penulis untuk menulis. Akan lebih mudah bukan jika kita menulis sesuatu yang sudah kita rencanakan dengan matang setiap alur cerita dan kejutan yang ada di dalam tulisan kita. Ibaratnya kita memetakan jalur litasan yang ingin kita lewati agar tidak tersesat dan menyerah di tengah jalan.
Dan aku sangat yakin bahwa Kawabata pun tidak akan melewatkan tahap pengembangan karakter ini, sebab semua tokoh dalam novel Seribu Bangau ini sangat kuat. Sungguh sebuah contoh pendalaman karakter yang begitu bagus untuk dicontoh.
Ada banyak kejutan di novel ini dan setiap lembarnya tidak membosankan untuk dibaca, apalagi dibagian endingnya, benar-benar sebuah kejutan yang tidak terduga. Ups sudah dulu ah daripada akhirnya aku beberkan spoiler novel ini hehehe, yang penasaran langsung aja cari di toko buku terdekat, kalau memang tidak ketemu silahkan langsung hubungi penerbitnya (Penerbit Gading) di Facebook.
Udah dulu ah, baca novel berikutnya lagi . . . . bye!

_________________
Nilai 3.5 dari 5
__________________

Comments

  1. jadi pengen baca nih.. 1000 bangau

    ReplyDelete
    Replies
    1. bagus kok novelnya, coba aja baca gak akan nyesal kok :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd