Paris, Kota Cinta Pembawa Masalah - Just One Day

Kota cinta, demikianlah banyak orang menyebut Paris. Banyak kisah cinta ditulis berlatar belakang kota ini, namun hampir tidak ada yang menulisnya seperti Just One Day. Tidak melulu soal cinta namun kental dengan cinta, mungkin demikianlah aku menyebut novel ini, jika dibandingkan dengan novel Gayle Forman yang lain semacam If I Stay, Where She Went, dan I Was Here, maka novelnya yang kali ini jauh lebih kental dengan 'sastra'. Mengapa demikian mungkin karena Forman sangat banyak membahas tentang karya-karya Shakespeare dengan terperinci dan tidak hanya berupa tempelan semata. Walau pun demikian, bukan berarti novel ini terkesan berat untuk remaja, malah jika dikatagorikan jelas sekali novel ini adalah novel remaja tapi dengan sentuhan sastra yang cemerlang.

'Seorang remaja yang mencoba mengenali dirinya sendiri lewat tragedi yang dialaminya di Paris'. Menurutku banyak para remaja mengalami hal semacam ini, memasuki masa transisi, peralihan dari remaja menjadi lebih dewasa, dan tidak sedikit juga yang mengalami kesulitan untuk memahami diri sendiri seperti Allyson dalam novel ini. Tertekan oleh situasi dan batasan yang membuatnya berontak, merasakan rasa sakit, kecewa, dan tak berdaya. Tentang persahabatan yang mulai merenggang, terpuruk dalam sebuah masalah yang tak bisa dibaginya dengan siapa pun, lalu memilih untuk menutup diri dari lingkungan sekitar. Hingga akhirnya dia tanpa sengaja sudah menyakiti dirinya sendiri dan orang-orang tersayangnya.

Seperti yang kusebut di atas, semua masalah ini berawal di Paris. Allyson dan sahabatnya Melanie, melakukan tur keliling Eropa namun di hari terakhir mereka, tanpa senghaja berjumpa dengan Willem, cowok Belanda yang tidak lain adalah seorang aktor drama teater jalanan yang melancong ke penjuru Eropa. Allyson jatuh cinta pada pandangan pertama, dan memutuskan pergi ke Paris atas ajakan Willem walau hanya sehari. Keputusan mendadak itu sunggung tidak terduga karena sebelumnya ia adalah cewek penurut, baik-baik. Dan seperti yang pernah orang bilang bahwa cinta itu buta, maka demikianlah yang dialami oleh Allyson. Pergi ke negara yang seumur hidupnya tak pernah ia kunjungi bersama seorang cowok yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu, sungguh sebuah kegilaan yang pada akhirnya membuat hidupnya berubah derastis.

Selama perjalanan yang berlangsung kurang lebih 24 jam keliling Paris, Allyson merasa dirinya menjadi orang lain, menjadi seseorang yang bertolak belakang dengan dirinya selama ini, hingga akhirnya perjalanan manis mereka pupus dengan sebuah perpisahan tragis tanpa penjelasan yang pasti. Demikianlah pokok permasalahan dalam novel ini muncul, setelah perjalanan sehari yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh Allyson.

Yang membuat novel ini luar biasa adalah, perkembangan pisikologi yang dialami oleh Allyson sehingga ia menjadi sangat terkekang dan perlahan bangkit dengan pemberontakan terhadap banyak hal dikehidupannya, termasuk kepada orang tuannya. Dukungan, hal itulah yang dibutuhkan para remaja seperti Allyson, karena biasanya semakin mereka dikekang, maka semakin mereka berontak.

Novel ini juga mengajarkan tentang kerja keras pantang menyerah untuk sebuah tujuan kuat yang tidak hanya sekadar ambisi belaka, pencarian demi pencarian yang dilakukan oleh Allyson membawanya kesebuah pemahaman hidup yang lebih baik dan beberapa jawaban atas sebuah misteri cinta yang dialaminya selama setahun. Lewat kisah sehari, bencana merambat jadi setahun, lalu diakhiri dengan sebuah jawaban yang akan diperjelas lewat novel lanjutannya Just One Year.

Membaca novel ini membuat aku tidak sabar untuk mencicipi kelanjutan kisah galau penuh romansa, serta menguak sebuah kenyataan baru yang mungkin saja berujung air mata.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd