Metafora Padma : Masa Lalu Bernard Batubara

Bernard Batubara (panggil : Bara) adalah salah satu penulis Indonesia yang cukup produktif. Seingatku sejak buku pertamanya hingga yang terbaru ini, hampir tiap tahun dia menerbitkan buku, dan beberapa sudah kubaca. Beberapa bukunya juga sudah diangkat ke layar lebar, seperti Radio Galau FM dan Patah Hati.

Ini adalah buku Bara yang kesembilan, kali  ini merupakan kumpulan cerpen, sebelumnya Bara juga beberapa kali menerbitkan kumpulan cerpen, begitu juga cerpen-cerpen nya sering dimuat di surat kabar nasional. Bisa dibilang dia punya kualitas yang bagus dalam menulis fiksi, melihat beberapa prestasi yang dimilikinya.

Buku terbarunya ini berjudul Metafora Padma, sebelum terbit, aku sudah pernah baca cerpennya yang berjudul Metafora Padma, sebab cerpen itu sempat dimuat di koran Tempo. Nah, cerpen inilah yang dijadikannya judul buku kumpulan cerpen terbatunya ini.

Ada 14 cerpen dalam buku ini dan hampir semuanya bernuansa sama, maksudku hampir semua tema yang diangkat dalam cerpen-cerpen di buku ini mengandung keritik sosial. Serta latar belakang cerita dalam cerpen-cerpen ini mengigatkan kita dengan tragedi yang dulu pernah terjadi di Sampit. Mengingat Bara adalah kelahiran Pontianak jadi tidak heran jika masa-masa itu menjadi sebuah histori yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

Tidak mudah memang sebagai seorang penulis menceritakan sebuah kisah yang dilandasi oleh teragedi mengerikan semasa ia kecil, namun Bara berusaha untuk berani menceritakan kisah yang sebenarnya tidak ingin diceritakannya.

Salah satu cerpen yang paling aku suka di buku ini yang berjudul Hanya Pantai yang Mengerti, menurutku cerpen ini seperti nostalgia terhadap tulisan-tulisan Bara yang punya ciri khas mendayu dengan diksi-diksi yang enak macam larik puisi. Tapi bukan berarti cerpen yang lain jelek. Semua cerpen punya gaya tarik tersendiri dan keritik sosial di sana sini. Seperti cerpen yang berjudul Demarkasi, yang berkisah tentang sebuah isyu yang muncul lewat desas desus, manusia memang suka disulut oleh desas desus yang berujung pertikaian mengerikan.

Terus ada lagi cerpen yang berjudul Rumah, di cerpen ini Bara mengingatkan pada kita bahwa hidup itu tak akan bisa lepas dari kejadian di masa lalu, beberapa hal ada untuk diingat dan beberapa hal lagi ada untuk dijadikan pelajaran, sebab melupakan adalah cara paling tak masuk akal yang bisa dilakukan oleh manusia.

Bara juga memasukkan sebuah keritik yang bagus sekali tentang penulis. Di cerpen yang berjudul Kanibal, ia menceritakan seorang penulis yang tidak kunjung sukses dan hampir menyerah. Cerpen ini memang tragis tapi sangat bermakna, bahwa kadang seorang penulis rela memakan dirinya sendiri untuk menciptakan sebuah karya yang luar biasa.

Dan buku ini ditutup dengan kisah yang cukup krusial, judulnya Solilokui Natalia, Berkisah tentang perbedaan agama dan pertanyaan seputaran cinta beda agama, pertanyaan macam ini memang sering muncul tapi sering juga tak punya jawaban yang pasti. Tapi itulah hidup, kadang memang sulit dipahami.

Dalam buku ini Bara juga memberikan sedikit bocoran tentang sebuah novel yang sedang dikerjakannya, hal ini muncul di akhir cerpen berjudul Sepenggal Dongeng Bulan Merah, disana ditulisnya bahwa cerpen itu merupakan bagian dari novel Eros. Aku tidak tahu apakah Bara memang pernah (sedang) menulis novel berjudul Eros atau cerita ini merupakan bagian dari novel seorang temannya yang bernama Eros, untuk hal ini aku belum dapat pencerahan yang jelas hehehe

Dari sekian banyak kumpulan cerpen yang terbit tahun ini, menurutku buku ini cukup aku rekomendasikan pada siapa pun yang suka baca cerpen, apalagi suka dengan cerpen-cerpen yang punya keritik sosial. Banyak pelajaran di dalamnya yang kadang sederhana tapi sangat bermakna.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd