Ketika Roh Terlepas dari Jisimku
Hari ini
adalah hari ketika roh terlepas dari jisimku. Ketika pelor panas melesat
memecah ruang udara kemudian membentuk lubang dalam, di antara garis keningku.
Ketika bebatuan kerikil diguyuri panas surya seharian, lalu menyambut tubuhku
yang lunglai. Bergeming aku bagaikan seonggok tai sapi di tengah lapangan.
Membenam, berhias lalat dan darah, dan busuk disantap waktu.
Pelor itu
berasal dari revolver seorang polisi yang sekali pun tak pernah meletus,
apalagi membuat seseorang terluka atau terbunuh. Sekali merangkuh dayung, dua
tiga pulau terlampaui. Tiga rekor langsung didapatkan oleh si revolver dalam
waktu yang sangat berdekatan. Entah si revolver menyukai hal itu, yang pasti
jika ia bisa bicara mungkin hal itu bisa menjadi kebanggaannya.
Aku tahu,
pertanyaan utama yang akan kalian tanyakan adalah, mengapa pelor revolver tadi
bisa menghujam dan membunuhku. Apa yang aku lakukan? Baiklah aku akan
pelan-pelan menceritakan kisah ini pada kalian, walau dengan cara yang agak
aneh.
___
Seekor Tupai
yang pandai, pada akhirnya akan jatuh dari pohon kalau sudah berjumpa dengan
sialnya. Seperti yang terjadi pada Tupai mati di tengah jalan ini. Dibunuh oleh
seekor Landak dengan durinya. Ada yang bilang, Landak membunuh Tupai karena
Tupai suka mencuri buah. Ada yang bilang, Tupai dibunuh Landak karena Tupai
menyusup ke rumah Landak. Sekali lagi, ada yang bilang. Jelas muncul pertanyaan
siapa yang bilang?
Secara akal,
ini tidak masuk akal. Memangnya kenapa kalau Tupai suka mencuri buah? Padahal
Landak sukanya makan serangga, walau kadang juga makan buah jika terpaksa. Jadi
tak mungkin Landak punya buah, pun Tupai mencuri buah, pasti juga bukan buah
Landak. Lalu asumsi kedua, untuk apa Tupai menyusup ke rumah Landak? Kan Landak
rumahnya di bawah tanah, sedangkan Tupai di atas pohon. Jika alasannya untuk
mencuri buah. Buah tempatnya di atas pohon bukan di dalam tanah. Lalu mengapa
Tupai mati dibunuh Landak dengan durinya?
Lalu Anjing
bilang. “Ada kok Landak yang hidup di pohon!”
Monyet
menertawakan komentar Anjing. “Ini di Kalimantan. Bukan Amerika Utara.”
“Lalu?”
Anjing menyeringai kesal meminta Monyet mengeluarkan asumsi.
“Landak
membunuh Tupai, karena Landak ingin Tupai Mati!”
Anjing
melongo tidak percaya.
___
Setiap sore
Dodi akan bersepeda mengantarkan uang dagangan kue yang dititp Mak Midah. Dan
sore itu ia dikagetkan oleh suara riuh yang berujung kejar-kejaran ketika
melewati rumah Pak Polisi. Ia terhenti mengayuh sepeda saat melihat Anwar lari
terbirit-birit keluar dari rumah Pak Polisi, macam kesetanan.
“War!”
panggilnya pada sahabatnya itu.
Anwar sempat
menoleh sejenak, tapi ia terus berlari.
Beberapa
detik kemudian muncul Pak Polisi yang hanya mengenakan celana olah raga pendek
keluar rumah sambil berlari mengejar Anwar. “Maling! Maling!” Teriaknya sembari
menodongkan revolver ke arah Anwar yang berjarak beberapa depa dihadapannya
Anwar tidak
berhenti. “itu benar-benar mengerikan.” Ucap Dodi saat Mak Midah menanyainya
kisah itu. “Pak Polisi menembak Anwar di dekat persimpangan jalan, bawah pohon
ketapi. Anwar mampus seketika.”
“Pasti nanti
pohon ketapi itu akan berhantu.” Mak Midah bergidik ngeri.
___
Putih bulu
kelinci mengubar nafsu Tupai yang duduk disebelahnya sambil makan buah jambu.
Tapi Tupai keburu lapar, oleh sebab itu ia tidak tergesa-gesa untuk memadu
mesra dengan kelinci. Dua ekor kasmaran ini sudah hampir satu bulan berpacaran.
Pacaran diam-diam sebab jelas mereka adalah hubungan terlarang.
Kelinci
terlihat bete karena merasa di cuekin Tupai. “Kok kamu lebih mementingkan makanmu
daripada aku?”
Tupai
tersenyum. “Daripada aku kelaparan dan aku malah memakanmu.” Candanya.
Kelinci
merapat ke Tupai dengan manja.
“Besok kita
jalan-jalan ke pinggir sungai ya.” Ajak Tupai mengatur rencana.
“Disana
banyak Buaya.”
“Tenang
saja, aku berteman dengan Buaya. Buaya itu musuhnya Kancil, sebab lampau sekali
Kancil pernah membohongi Buaya.”
“Besok ya!?
Besok sibuk aku bantu Emak cari kangkung.”
“Oh.” Tupai
terlihat kecewa.
___
Suara mesin
jahit menembus dinding kamar Hayati. Ia sedang bermalas-malasan di dalam kamar.
Padahal tadi Emaknya nyuruh dia cuci piring sebab, piring kotor sudah numpuk
macam gunung meratus. Maklum pagi tadi ada acara haul Bapaknya yang keempat.
Emaknya
berhenti menjahit. “O...,Hayati. Kapan kau cuci piring nak. Jangan telentang
saja kau di kamar, macam buaya berjemur di pinggir sungai.”
“Sayup-sayup
terdengar suara Hayati menjawab. “Anakmu ini lagi capek Mak. Sebentar lagi
harus ke rumah Mbok Darsih belajar ngaji.”
Emak melirik
ke jam dinding yang ada di dinding samping lemari tua. Sudah hampir tengah hari
dan waktu juhur sebentar lagi tiba. Kakinya kembali menggerakkan mesin jahit.
“Sempatlah sebentar saja kau cuci sebagian piring itu. Nanti sisanya Emak
selesaikan.”
Hayati
keluar kamar dengan handuk sampai di dada. “Hayati mau mandi dulu Mak. Nantilah
selesai mengaji tak cuci semua piring kotor itu.” Ia berlalu menuju kamar mandi
yang ada di dapur.
Anak jaman sekarang, susahnya diatur. Keluh
Emaknya.
___
Monyet sedang
menghitung sisir pisang yang ada di kebunnya. Sedangkan Tupai sahabat karibnya,
mengikuti langkah Monyet sambil cerita.
“Aku tak
mengerti akhir-akhir ini Kelinci selalu banyak alasan kalau kuajak jalan.”
“Duabelas...tigabelas...empatbelas....”
“Woy,
Monyet. Aku mau curhat nih.” Tupai kesal.
Monyet
berhenti menghitung sambil menggaruk-garuk kepala seolah ada banyak kutu
membangun istana di kepalanya. “Sejak awal
kau sudah ku wanti-wanti. Kalau cari pasangan itu yang sama. Jangan yang
tidak mungkin, salah-salah kau dapat celaka.” Monyet duuduk kemudian bersandar
di bawah pohon pisang. “Mungkin saja Induk Kelinci tahu kau pacaran sama
anaknya. Oleh sebab itu Kelinci coba menjauhimu.”
“Ini masalah
hati dan cinta, kawan!”
“Kalau kau
kelaparan dan hampir mati, tuh hati dan cinta tak bisa kau makan. Harusnya kau
mikir Tupai.”
“Kau ini
malah memojokkanku?”
“Bukan
begitu, kawan. Ini semua demi kebaikanmu juga. Kau tak pernah dengar ya nasib
si Ular setelah pacaran sama anak si Elang? Tuh Ular jadi santapan induk Elang.
Kamu gak ngeri apa?”
“Tapi aku
mencintainya. Susah kau paham, sebab kau tak pernah jatuh cinta. Aku harus
menemuinya hari ini.” Bukannya takut, Tupai malah nekat.
___
Suara ngaji
terdengar sampai keluar rumah Mbok Darsih. Anwar yang sudah berdiri di depan
pintu rumah itu mengetuk pelan. Tak lama Mbok Darsih yang hampir bungkuk itu
membukakan pintu dan menanyakan prihal kedatangan Anwar.
“Hayatinya
ada Mbok?”
“Neng Hayati
gak kemari, nak.” Jelas Mbok Darsih singkat.
Mata kiri
Mbok Darsih hampir buta karena katarak. Anwar memerhatikannya kemudian berucap.
“Apa Mbok tau kemana ia sekarang.”
“Sepertinya
dia di rumahnya sebab kan tadi pagi ada acara haul di rumahnya. Mungkin
kecapekan.”
Tanpa sempat
mengucapkan terima kasih, Anwar berlari menuju rumah Hayati yang berhelat tujuh
rumah saja dari rumah Mbok Darsih. Sebenarnya Anwar cukup gugup, takutnya Emak
Hayati tau hubungannya dengan Hayati. Bisa kacau balau macam gempa bumi
nantinya. Namun rindunya sudah membuat ia bodoh, ia buta, ia tak lagi punya akal
buat berpikir.
Tok tok,
suara pintu diketuk Anwar. Tak lama Emak Hayati membuka pintu rumahnya. Tak ada
yang aneh dari ekspresi wajah perempuan tua itu, semuanya baik-baik saja.
Seperti badai yang tidak jadi menerjang, Anwar memusut dada untuk mengurangi
ketakutannya.
“Hayatinya
ada?” Tanyanya dengan tergagap.
“Dia sedang ngaji
di rumah Mbok Darsih.”
___
Kelinci
meloncat-loncat sambil beberapa kali berhenti untuk memastikan bahwa tak ada
yang sedang mengawasinya. Ia memanggil-manggil pelan ke arah lubang yang
menjorok ke bawah tanah, di antara akar pohon beringin.
Tak lama
keluar Landak dari lubang tadi. Bulunya yang menyerupai duri itu mengembang
memperlihatkan keperkasaannya. Kelinci dibuat pangling kejatuhan cinta
berbunga-bunga.
Landak
menggiring kelinci masuk sarangnya, menjaga jarak takut melukai belahan jiwanya
itu. Di dalam sarang landak keadaan gelap gulita, namun ketika mencapai bagian
terdalamnya suasana cukup remang sebab cahaya kunang-kunang yang ditangkap landak
menghiasi sekitar.
Bagaimana
mungkin Kelinci semakin jatuh cinta pada Landak, sebab ia disambut dengan
suasana romantis bak cerita dongeng-dongeng. Lalu Landak mendekati Kelinci,
menindihnya perlahan agar durinya tidak mengenai Kelinci, namun saat gelora
asmara sedang asik melang-lang angkasa nafsu mereka. Tupai muncul dengan
geramnya.
Kelinci dan
Landak kaget. Tupai begitu marah. Kelinci berlari ke pojokan sedangkan Tupai
berusaha menerjang Landak, walau ia tahu duri Landak tak bisa dilumpuhkan.
___
“Puji
Tuhan!” ucapku tak percaya ketika melihat Hayati dibonceng Pak Polisi hidung
belang itu. Menurut gosib hampir semua gadis kampung yang nakal pernah
ditidurinya, dan apa mungkin kini Hayati juga?
Aku
membuntuti mereka dengan sepeda Pak Haji yang pasrkir depan musola, mengayuhnya
dengan amarah menggebu-gebu. Rumah Pak Polisi sudah terlihat dikejauhan, aku
semakin geram sampai-sampai keringat mengucur sore itu menembus kemejaku tak
terhiraukan. Aku kesal bukan kepalang.
Sepeda
kuhempaskan di depan rumah Pak Polisi, lalu aku masuk ke rumahnya yang tidak
terkunci. Saat kutendang pintu kamarnya, Pak Polisi sedang menunggang Hayati
yang tidak mengenakan busana. Gerakan nelangsa mereka berhenti, mereka kaget
setengah mati.
Kudorong Pak
Polisi hingga jengkang di samping ranjang. Hayati berteriak ketakutan sambil
menarik seprai menutupi tubuhnya. Kupukuli Pak Polisi yang mencoba berlindung
dengan kedua tangannya.
Pak Polisi
terlalu kuat dan besar, dia mendorongku hingga terhempas ke dinding, kemudian
bangkit menuju laci bupet samping ranjang. Saat ia mengeluarkan revolvernya
itulah aku lari keluar dari rumahnya terbirit-birit.
Dodi yang
kebetulan lewat memanggilku, tapi aku tak bisa berhenti takut di tembak Pak
Polisi. Dan setelah itulah revolver memecahkan rekor yang mungkin bisa
dibanggakannya apabila ia bisa bicara. Pelornya menembus kepalaku, tepat di
antara kedua keningku. Hari ini adalah hari ketika roh terlepas dari jisimku.[]
Comments
Post a Comment