Gatsby, Lelaki yang Hidup Atas Dasar Keperihan

Siapa yang tidak tahu The Great Gatsby.  Mungkin itu merupakan pernyataan yang cukup naif yang pernah aku utarakan. Sebab ternyata teman sekantorku tidak tahu The Great Gatsby. Astaga, semoga kalian tahu, jika kalian memang sungguh tidak tahu paling tidak kalian harus membaca novel ini sekali seumur hidup. Pun, pabila kalian malas membacanya, kalian bisa menonton filmnya yang dibintangi Leonardo DiCaprio Mengapa aku sangat merekomendasikan yang satu ini? Karena bagus titik.

Ini bukanlah novel baru, mungkin usianya lebih tua daripada usiaku saat ini. Aku membaca novel ini sekitar tiga tahun yang lalu, dan tiba-tiba sebelum aku tidur sembari merunut apa saja yang aku lewati hari itu, The Great Gatsby melintas begitu saja dalam ruang pikirku. Sepertinya itu sebuah pertanda bahwa aku harus membagi hal ini pada kalian. Tapi mungkin saja aku salah! I don't know?

Perih adalah unsir paling banyak yang kudapati di novel yang satu ini. Sebuah kisah cinta efik yang setia namun ternoda oleh kenyataan pahit. Pada hakikatnya waktu bisa membuat banyak hal berubah, waktu bisa membuat seseorang lelah untuk menunggu, waktu tidak pernah bisa diperlakukan sama, padahal jelas setiap gerak waktu menciptakan dimensinya masing-masing. Dan bagi lelaki bernama Gatsby waktu tidak seperti itu. Ia terlalu memimpikan hidup di masa depan dengan banyak kenangan masa lalu, padahal masa lalu dan masa depan jelas merupakan hal yang sangat berbeda.

Lewat sudut pandang seorang lelaki bernama Nick Garraway yang kebetulan tetangga Gatsby sekaligus sepupu jauh Daisy (perempuan yang dicintai Gatsby sepenuh hati), cerita ini disampaikan. Aku suka karakter Nick, ia adalah sosok yang selalu berusaha tidak ikut campur urusan orang lain, namun terjerumus ke dalam kisah cinta pelik orang lain. Ia adalah sosok pengagum Gatsby sekaligus yang paling merasa simpati terhadap tetangganya itu. Cinta memang buta, dan Nick melihat itu sendiri di depan matanya.

Sangat jelas ditekankan bahwa wanita adalah simbol dari dua hal yang berlawanan, bisa menjadi penawar dan penyemangat, bisa juga menjadi racun mematikan tanpa penawar. Wanita itu seperti sebuah penyamaran dari simbol lemah yang ternyata memiliki berjuta kekuatan penaklukkan terhadap lelaki cerdas serta berpendidikan sekali pun. Wanita adalah berlian yang indah, mengintimidasi, namun bisa menciptakan pertumpahan darah untuk diperebutkan. Wanita adalah segalanya, seperti Daisy bagi Gatsby.

Kemunafikan manusia diperlihatkan dengan sangat jelas dalam novel ini, Gatsby sering kali mengadakan pesta besar di rumahnya dan hampir semua orang di kota hadir walau tanpa di undang, bahkan orang-orang yang tidak mengenalnya sekali pun hadir menghibur diri. Tapi apa yang terjadi ketika ia mati, tak satu pun dari mereka, kecuali Nick, hadir untuk melayat, mengirim karangan bunga saja tidak. Seolah semua orang lupa kebaikan, pesta yang pernah diadakannya. Itulah cerminan dari kebanyakan manusia, hanya bisa dinilai ketika hal buruk menimpa kita. Sama halnya seperti, kita bisa berdiri di puncak menara, menghamburkan uang sesuka hati untuk orang-orang yang menunggu di bawah, yang memuja dan terkagum seakan tanpa cela. Namun ingatlah bahwa ketika menara roboh dan kita terjatuh serta terluka, tak satu pun dari mereka yang sudi membantu dengan setulus hati. Yang mereka puja bukanlah kita, melainkan apa yang kita punya, dan apa yang mereka butuhkan dari kita. Tak ada istilah hutang budi di sini.

Cinta bisa membuat kita membangun istana, berenang mengarungi samudera. Namun cinta juga bisa membuat kita mati sia-sia. Karena cinta itu serupa bodoh yang tidak bisa disamakan.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd