Pamit
Sewindu pun tak ada artinya, apalagi untuk masalah hati dan
cinta. Bahkan langit yang berwarna jingga, tak mampu khusuk mempertahankan
megahnya. Angin laut menggeraikan rambut, menyingkap tabir pilu yang mungkin
sulit berlalu. Leher jenjang putih itu terlihat memesona, bibir merah indah
merona. Tapi yang diperlukan cinta bukan kedua hal itu. Cinta hanya perlu satu
hal, yang hanya bisa didapatkan dengan banyak hal. Hal-hal yang sulit untuk
dipahami.
Narsih tak habis pikir, jikalau di langit cerah membiru,
kadang petir bisa datang menyerbu. Jemari tangan yang digenggamnya erat pada
akhirnya harus terlepas dengan hiasan rintik hujan. Perih memang, sakit memang,
dunia terasa tak berarti lagi, hari-hari tak punya arti. Dan coba diputuskannya
untuk menunggu malam, siapa tahu tata letak bintang dan rembulan bisa berubah.
Tangis tumpah, tak kunjung sudah.
___
Kemerah-merahan semburat muncul di langit sebelah timur.
Tanda-tanda matahari segera terbit, mencipta pancaran horizontal pada garis
cakrawala. Fajar yang ditunggu Tajarudin sejengkal lagi akan bersua. Dan inilah
kenyataannya, sama seperti senja, fajar tidak akan pernah bisa bertahan lama.
Ia maju sedikit melewati batas atap rumah, menyusuri pagar
kayu setinggi pinggang. Di ranting pohon kering yang hampir mati, seekor burung
murai bertengger. Kicaunya merdu masyuk tak terbantahkan.
Menunggu adalah, saat rindu terasa meruncing setajam pisau,
menusuk pelan, melukai dari dalam.
Lama tak bersua kadang menjadi kolam kecil tempat sekawanan
kangen berenang. Oleh sebab itu setiap dari kangen tadi, harus terbayar ketika
dua pasang mata berona cinta saling tatap, tangan saling jabat, tubuh saling
pagut dengan erat. Dan semua angan itu tidak pernah benar terjadi. Seperti
awan-awan yang menggumpal menutupi rembulan, tak selamanya hujan akan turun.
Narsih dan Tajarudin bisu, suara orang lain bicara menyumpal
telinga mereka di warung itu. Kadang gelak tawa, kadang cerita ngaur tentang
hal-hal lucu. Semua hanya kadang-kadang, tidak seperti mereka berdua yang
berasa abadi tanpa kalimat apa pun .
Ini terjadi sejak Narsih datang beberapa hari yang lalu.
Setelah sekian lama berpisah tanpa sebuah alasan. Alasan yang tidak pernah
ditanyakan oleh Tajarudin sekali pun.
Apa mungkin hati akan bertaut?
___
Ada banyak hal yang bisa berubah di dunia ini. Seperti menemukan
kembali sesuatu yang sudah lama pergi. Harapannya sama, seperti masa lalu penuh
bahagia. Tapi kenyataan kadang bisa meruntuhkan gunung es yang terlihat kokoh,
mencipta longsor, membunuh seseorang. Dan orang itu adalah Tajarudin.
Pada akhirnya Narsih akan bertanya, ada apa dengan mereka?
Acap kali pertanyaan itu muncul Tajarudin tidak pernah punya jawaban. Lalu satu
ketakutan muncul di benak Narsih, takut kehilangan.
Mereka coba bertahan sambil berharap semuanya semakin membaik.
Dan semuanya malah semakin memburuk.
___
Rasanya memang sakit, perih tak tertahankan. Namun akan
lebih sakit lagi jika tidak disudahi. Mempertahankan batu bundar di ujung
jurang, sama halnya dengan menunggu waktu bahwa suatu saat batu itu akan
tergelincir dan hancur di antara batu karang yang ada di bawah jurang. Pun batu
tadi tidak hancur, hempasan gelombang jelas akan menerjangnya, membuatnya
terbelah, pecah, atau malahh musnah.
“Jadi lepaskan saja jabatan tanganmu.” Ucap Tajarudin pada
suatu kesempatan. “Aku harus pergi, aku harus berhenti menyiksa hatimu yang
tulus mencintaiku.”
Narsih bergeming. Kaca di matanya pecah, sungai mengalir
menuju laut. Tapi laut sudah menjadi biru, tak mungkin menjadi keruh.
___
“Kita masih bisa saling melihat. Kita masih
sepasang sahabat”
Comments
Post a Comment