Milos, Z, & Kawanan Beru
1.
Rasi
bintang orion terlihat jelas di langit malam itu, demikian juga dengan suara
deru gelombang yang menyeret perahu ke tepi pantai gelap. Milos berbaring di
dalam perahu kayu tadi, menumpu kepalanya dengan kedua tangan kurus terlindung
oleh lengan baju panjang yang dikenakannya. Itu adalah baju kesukaannya, Kos
lengan panjang berwarna merah hati dengan gambar kucing oren loreng macam
harimau.
Saat
ujung perahu menyentuh pantai, Milos bangkit. Sepoy angin menjamah dirinya
bagai ucapan selamat datang. Sekitar remang-remang, rembulan purnama
menggantung di puncak langit, cahayanya yang menimpa air laut, tenggelam
mencipta semburat berkilauan mirip permata.
Ia
turun dari perahu, meloncat ke atas pasir putih yang menyambut kaki telanjang
tanpa alas kaki, kemudian dengan sedikit keraguan, ditariknya perahu tadi
hingga separuh lambung perahu terangkat ke atas pasir. Ia sendiri tak percaya
dengan kemampuannya menarik perahu, sebab perahu itu terlalu besar untuk
tubuhnya yang kurus dan baru berusia 7 tahun.
“Ini
Ajaib,” ucapnya pelan. Namun ketika ia melihat lagi kesekitar, ia malah
berpikir. Bahkan bisa sampai ke tempat
ini pun jauh lebih ajaib.
Seingatnya,
ia baru saja masuk ke kamar setelah dimarahi oleh Ibunya karena terlalu larut
malam bermain video game, berbaring
di balik selimut dengan perasaan kesal, tertidur dan tanpa pertanda apa pun
tiba-tiba berada di dalam perahu yang terapung di tengah laut.
Tapi
tempat ini bukan asing bagi Milos, ia merasa akrab, merasa sudah sangat
mengenalnya, mengunjunginya, walau ia lupa kapan ingatan itu pernah ada. Dan
jelas ini adalah dunia di balik alam sadarnya.
Langkah
kakinya menuju daratan, ke arah pepohonan kelapa yang melambai ditiup angin.
Langkah itu hanya sempat tercipta beberapa tapak, sebab di tengah pasir sesuatu
tiba-tiba saja bergerak, mencuat, bercahaya. Seekor binatang pipih, berekor
runcing dengan dua sayap pendek yang menyatu ke badan, dan yang paling aneh,
binatang itu menyala bagaikan kawanan plangton ketika tersentuh riak gelombang.
Seekor
pari, ikan pari di daratan, perlahan melayang, terbang dengan mengepakkan sayap
macam berenang di dalam air. Pari terbang.
Milos malah berlari mengahmpiri penuh semangat dan ekspresi tidak percaya.
Ia meloncat ingin menangkap ekor pari terbang tadi, namun yang tergenggam hanya
udara malam, sebab pari terbang tadi sudah duluan meluncur ke depan, ke dalam
hutan rindang di balik pepohonan kelapa.
Milos
duduk di atas pasir sambil menatap pari terbang yang semakin menjauh. Apa bisa ditunggangi? Pikirnya terasa
mustahil. Namun tak sempat bangkit, sesuatu bergerak dari bawah pasir, seekor
pari muncul tepat di bawah pantatnya, melayang, membawanya meluncur ke dalam
hutan. Milos berpegangan pada tanduk kecil yang tumbuh di bagian depan pari
tadi, tanduk tadi berfungsi sebagai setir untuknya mengarahkan kemana pari akan
bergerak.
Ia
berteriak penuh semangat, melewati semak gelap akibat tertimpa bayangan
pepohonan. Bermanuper di antara pohon kelapa. Sampai akhirnya sebuah jaring
membentang tiba-tiba di hadapan, membuat ia merekat di sana bersama pari yang
tadi ditungganginya. Jaring tadi menggulung dan tergantung di pohon kelapa.
Milos berubah takut sekaligus cemas. Firasat buruk merong-rong di dalam
benaknya.
Malam
terus merangkak, tak ada apa pun muncul, ia pun tertidur berkawankan pari yang
perlahan meredup dan mungkin juga tertidur sama seperti dirinya.
~
2.
Awan
berwarna warni bergumpal menghiasi langit putih bersih, di tengah tanah lapang
yang menghadap ke arah gunung kelabu, tercipta garis jejak lurus mengepulkan
debu. Milos yang terbangun karena benturan tanah dengan tubuhnya, panik
meronta-ronta dari dalam jaring yang terseret membungkusnya bersama pari
terbang.
Langkah
besar di depan, berat dan menakutkan. Sosok itu berbulu coklat seperti beruang
dengan sepasang tangan berjari tiga runcing membentuk cakar. Jari kokoh tadi
menggenggam ujung jaring, menyeretnya sembari menyenandungkan sebuah lagu.
Suaranya berat tidak jelas, acap kali menganga terlihat kawanan taring berwarna
gading. Namun jika dilihat secara keseluruhan, makhluk itu tidak terlalu
menyeramkan, apalagi ketika sepasang matanya yang bundar keemasan terlihat
berkedip, bagaikan mata bayi imut tak berdosa.
“Hey,
lepaskan aku!” Teriak Milos cukup lantang.
Langkah
tadi terhenti, jemari kokoh menggaruk kening yang lebat menyatu dan menjorok ke
depan bagaikan topi pelindung terik matahari. Ia bergerak mendekat, berjongkok
lalu mengintip ke dalam jaring.
“Lepaskan
aku!” Ulang Milos dengan nada mengancam.
Monster
itu baru menyadari makhluk seperti apa yang ada di dalam jaringnya, ia bangkit
sontak, bingung lalu berlari terbirit-birit lurus sambil berteriak.
“Rubaahhhh!”
“Hey,
jangan lari. Lepaskan aku!” Namun Monster tadi semakin jauh meninggalkannya.
Dengan
susah payah, Milos meronta-ronta dari jaring, ia berhasil keluar dari jerat
jaring yang lengket itu. Pari terbang kaku seperti batu, tidak lagi menyala,
tidak juga terlihat hidup, membatu begitu saja. Milos duduk di atasnya
mencari-cari tanduk yang sudah lenyap begitu saja. Apa pari ini mati? Pikirnya sambil mendekatkan telinga ke tubuh si
pari. Terdengar suara detak jantung lemah bercampur suara ngorok yang lembut.
“Astaga,
tertidur.” Pekik Milos kesal.
Jejak
Monster raksasa yang tadi menyeretnya terlihat jelas menuju arah hutan, tak
ada pilihan lain selain mengikuti jejak
tadi, ditambah lagi rasa penasarannya, mengapa Monster sebesar itu bisa
ketakutan terbirit-birit padanya. Saat mencoba menyeret pari dengan menarik
ekornya, pari itu sangat berat, mustahil untuk diseret, dan pari itu pun
ditinggalkan begitu saja.
Memasuki
daerah hutan, aroma harum dan segar masuk ke rongga hidung, Milos berhenti
melangkah, bersandar di sebuah pohon besar untuk mengatur napas.
“Bocah!”
Terdengar suara dari pohon tadi.
Milos
kaget dan mundur beberapa langkah.
“Naik
ke sini, cepat sembunyi. Kawanan Beru menuju kemari.”
Milos
melengak mencari asal suara tadi.
“Cepat
naik sebelum mereka menemukanmu.”
Suara
langkah berat terdengar dikejauhan. Tanpa berpikir panjang, Milos memanjat
pohon tadi, ketika mencapai atas pohon terlihat seorang bocah seumuran
dengannya, duduk di dahan pohon mengenakan celana panjang dengan kaos lengan
pendek lusuh, wajahnya tak kalah lusuh dengan bajunya. Ia mengenakan topi
kertas bertanduk menutupi rambutnya yang hitam. Isarat jari telunjuknya menyuruh
Milos untuk membisu dan jangan bergerak.
Sekawanan
Monster seperti yang sebelumnya dilihat Milos berlalu di bawah mereka. Mereka
berlari dengan cepat dan gaduh. Ada 3 Monster tepatnya, 1 diantaranya
mengenakan pita merah muda di antara kuping runcingnya. Milos tahu kawanan
Monster itu berlari ke arah mana. Tak lama kemudian terdengar suara debat
mereka di tengah gersang.
“Kau
mengenal mereka?” Tanya Milos pada bocah yang bergerak mendekatinya.
“Iya.”
“Apa
mereka baik?”
“Sayang
sekali tidak.”
“Apa
mereka memakan manusia?”
“Bisa
jadi!”
“Apa....”
“Sudahlah
jangan banyak tanya, kau harus mengenakan topi ini.” Ucapnya sambil menyerahkan
topi mirip seperti yang dikenakannya.
Tanpa
lagi bertanya Milos menerima topi kertas bertanduk tadi dan mengenakannya ke
kepala.
“Sekarang
kau terlihat jauh lebih baik.” Ia tersenyum. “Ayo kita turun dan pergi ke
guaku, sebelum perdebatan mereka berakhir dan mereka kembali. Oiya aku hampir
lupa, perkenalkan namaku Z.” Ia menjulurkan tangannya.
“Aku
Milos.” Jawabnya sambil menyambut jabatan tangan Z.
“M,
aku akan memanggilmu M. Kawanan Beru tidak suka memanggil nama lebih daripada 1
hurup.”
Sambil
berjalan di antara semak. Milos banyak bertanya, dan tidak semua pertanyaannya
dapat jawaban.
“Jadi
mereka itu punya penglihatan yang sangat buruk?” Ucap Milos mengulangi
kata-kata Z.
“Ya
begitulah. Yang bisa mereka lihat dengan jelas hanyalah pari terbang yang
menjadi makanan mereka. Oleh sebab itu kita harus terus mengenakan topi ini
untuk penyamaran.” Pegang Z pada topinya. “Mereka akan mengira kita rubah,
mereka tidak berani memakan rubah, sebab menurut mereka rubah itu beracun.”
Milos
mengangguk tanda mengerti. “Apa ada banyak manusia seperti kita?”
“Sayang
sekali, hanya ada satu. Dan sekarang jadi dua dengan kedatanganmu ini.”
“Lalu
apa yang kita lakukan disini?”
“Bertahan
hidup hingga kawanan ubur-ubur kembali ke awan.”
Milos
mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Kau
hanya bisa pergi dari sini dengan kawanan ubur-ubur. Dan hari itu masih sangat
lama.”
“Bagaimana
kau tahu itu semua?”
Z
berhenti melangkah dan berpaling ke arah Milos yang juga sontak berhenti
melangkah. “Karena aku tahu dan lama di sini. Berhentilah bertanya, nanti kau
juga mengerti apa yang akan kita hadapi untuk bertahan hidup.”
Saat
mencapai muara gua yang memperlihatkan gelapnya lorong gua. Z mengeluarkan
senter dari dalam kantong bajunya yang tak disadari Milos. Kantong itu seperti
kantong sulap, tiba-tiba saja sebuah senter diambilnya dari sana.
“Perhatikan
langkahmu.” Ucap Z memperingati Milos.
Lorong
gua tadi cukup panjang, beraroma permen dan hangat. Di ujung lorong terlihat
cahaya dari dalam botol yang ada di atas meja kayu. Botol tadi berisi kawanan
ulat menyala macam kunang-kunang. Di sana terdapat sebuah lemari tua, sebuah
tempat tidur kayu, perapian yang menyala dan tungku kecil disamping perapian.
“Z!”
Suara itu semeringah macam raungan.
Terlihat
Beru kecil mencuat dari balik meja, wajahnya campuran lucu dan mengerikan, ia
memiliki satu tanduk di tengah kepalanya seperti unicon. Mulutnya ternganga ketika melihat Milos berdiri di samping
Z.
“Z,
kau punya bayangan.” Ucapnya kaget.
Z
tertawa. “Dia bukan bayanganku, dia adikku. Namanya M. Dan M, perkenalkan ini
D.”
D
melambaikan tangannya.
~
3.
Di
hari ke-3 Milos mulai paham apa yang sedang dihadapinya. Kawanan Beru yang
hiperaktif, suka bermain berbagai permainan dan kebanyakan dari permainan
mereka adalah permainan yang sangat berbahaya. Setiap detik adalah tantangan,
nyawanya hanya bergantung pada sebuah topi kertas yang melekat di kepalanya.
Jantungnya tak henti-henti berdebar, walau secara perlahan debar itu
beradaptasi dengan sendirinya.
Seperti
yang terjadi siang itu ketika A—Beru paling besar dengan tanduk patah tersisa
separuh—memperbaiki sarangnya. Ranting pohon digumpal dan direkatkan dengan
ludahnya yang lengket bagaikan lem. Disatukan membentuk gunung kecil seukuran
tubuhnya, sarang itu menyerupai cerobong asap tinggi menjulang bagaikan topi
penyihir.
B—Beru
yang mengenakan pita merah muda diantara telinga—melempar ranting yang
bertumpuk ke arah A, awalnya semua berjalan biasa saja, setiap ranting selalu
berhasil ditangkap, hingga akhirnya B melemparnya dengan keras dan mengenai
batok kepala A. Jelas A marah dan meraung sembari melompat turun.
“Kau
senghaja melakukanku ya?” tanya A yang memang tempramental.
“Tidak,
aku tidak senghaja. Maafkan aku!”
“Tapi
kau melemparku sangat keras. Dan itu sakit.”
“Tapi
aku tidak senghaja, aku kan sudah meminta maaf.” B tindak ingin disalahkan.
D
dan E—Beru kembar yang hanya bisa dibedakan dari warna bola mata mereka, D
berwarna kuning keemasan, sedangkan E berwarna hijau lumut—sontak bangkit dari
ujung tebing tempat mereka melempari ikan terbang yang melintas. Perdebatan A
dan B membuat semuanya mengalihkan perhatian.
Z
dan Milos yang sedang membakar pari terbang untuk makan siang para Beru juga
berlari menghampiri A dan B.
“Ada
apa ini?” Tanya Z dengan suara yang lantang dan menghentikan perdebatan seru
tadi sejenak.
“B
melemparku dengan senghaja, ia melempar kepalaku. Ini adalah lokasi agung yang
aku miliki.” Ucap A sambil menunjuk batok kepalanya.
“Aku
tidak senghaja melakukannya.” B membela diri.
D
dan E yang duduk di atas batang pohon memerhatikan perdebatan tadi, mata mereka
yang bundar dan kepala mereka yang besar bergerak mengikuti pergerakan A dan B
yang semakin memanas.
“Okey.”
Ucap Z sambil berpikir. “Di dunia seberang hanya ada satu cara yang bisa
dilakukan untuk menghentikan sebuah perdebatan.” Ia melirik ke arah Milos
meminta bantuan untuk melanjutkan kalimatnya.
Semua
mata tertuju pada Z.
“M,
tolong jelaskan kepada mereka apa yang harus dilakukan....” Z membuat Milos tak
bisa mengelak.
“Hemmmm,
ada sebuah permaianan.” Milos merentangkan tangannya dan coba untuk berpikir. “Sebuah
permainan...”
Semua
masih menunggu kalimat Milos.
“Tapi
di sini tidak ada salju.” Keluhnya coba mengelak.
“Maksudnya?”
E tak sabar, ia berdiri dan meloncat mendekat menanti jawaban Milos.
“Lempar
salju. Tapi kita tidak punya salju di sini. Kecuali kita bisa mengganti salju
dengan bola air.”
“Kami
tidak suka air.” Perotes A.
“Apa
kau takut?” Tanya B menantang.
“Baiklah,
kita akan bermain lempar bola air.” A mendekat ke arah Milos sambil menoleh
masam ke arah B.
Z
pun kembali mengambil alih. “Pertama-tama kita harus membuat bola air dengan
plastik bening.”
“Aku
punya banyak pelastik bening.” D berlari ke sarangnya yang ada di samping pohon
maple.
“Siapa
yang akan membuatnya, kami tidak suka terlalu dekat dengan pantai.”
“Aku
dan Z yang akan membuatnya, kalian tunggu di sini. Ingat sebelum permainan
berlangsung tak boleh ada pertengkaran. Apabila ada yang memulai pertengkaran
akan dikenakan pinalti.”
”Pinalti
macam apa?” B menggaruk kepalanya.
“Dilempar
bola air tanpa boleh membalas atau menghindar. Selama kami membuat bola air, D
dan E akan mengawasi kalian berdua. “ Tunjuk Milos pada A dan B yang sudah
duduk dalam jarak yang berjauh-jauhan.
Tak
lama D kembali membawa pelastik bening. Milos dan Z langsung pergi ke pantai
sambil menyeret gerobak kayu. Sembari mengisi pelastik bening dengan air, Z pun
bertanya.
“Mengapa
kau memilih lempar bola salju?”
Milos
terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Karena setiap kali musim dingin, aku, Ibu,
dan Ayah akan bermain lempar bola salju di halaman rumah. Dan itu...” Kenangan
itu tiba-tiba saja menyematkan rindu di hati Milos.
Z
menatap Milos kemudian berucap. “Kau mulai merindukan orang tuamu?”
Milos
tidak menjawab.
“Aku
juga!” Z melengak memandang matahari. “Dulu aku selalu ingin pergi dari mereka
ketika mereka memarahiku melakukan sesuatu yang aku suka. Dan sekarang aku juga
merindukan mereka.”
“Ah,
sudahlah, sebaiknya kita cepat kembali, sebelum kawanan Beru itu saling bunuh.”
Milos memasukkan bola-bola air ke dalam gerobak kayu.
Mereka
berdua kembali ke sarang dan mulai membuat peraturan tentang permainan tadi.
Dibagi atas 2 tim. Tim A terdiri dari Milos dan
D. Sedangkan tim B terdiri dari Z dan E. Tim A sebagai penyerang, Tim B
sebagai bertahan. Tim B masuk ke dalam hutan dan bersembunyi, dan apabila salah
satu dari lawan bertemu, maka mereka bisa saling serang. Apabila terkena
lemparan bola air maka dianggap mati dan keluar dari permainan.
Permainan
pun dimulai.
Permainan
berjalan seru, saling lempar pun tak terhindarkan, satu persatu basah dan
dikeluarkan dari permainan, hingga akhirnya A yang bersembunyi di atas pohon
melempar Z yang mengendap di bawahnya sambil mencari posisi lawannya. Lemparan
jarak dekat dari atas, keras menghantam pundak Z, ia tersungkur ke tanah,
terbentur dan pingsan.
Masalah
berikutnya pun muncul. Perdebatan kembali merebak, semuanya menyalahkan A,
karena melempar terlalu keras kepada Z.
“Kau
bisa membunuhnya!” Teriak B dengan lantang sambil mengangkat Z yang masih
pingsan.
“Tapi
aku tidak bermaksud demikian.” A Panik.
“Kau
kan bisa memintanya menyerah.” Ucap D dan E secara bersamaan.
“Itu
kan tidak ada di dalam peraturan!” A membila diri.
“Kau
memang ingin membunuhnya. Aku tahu kau tidak terlalu suka dengan para rubah
karena C mati gara-gara memakan rubah. Rubah bukan musuh, C saja yang bodoh
memakannya.” Teriak B lantang.
Milos
tak tahu harus berbuat apa, ia maju selangkah mendekat lalu berucap dengan
wajah tertekuk. “Jika ada orang yang paling pantas disalahkan, maka orang itu
adalah aku. Permainan ini adalah ideku. Dan aku tidak berpikir akan menjadi
seperti ini.”
“Ini
bukan salahmu. Ini salah mereka berdua.” Tunjuk E ke arah A dan B, sedangkan D
hanya mengangguk tanda setuju.
“Sudahlah,
aku tidak ingin membicarakan ini lagi.” A benar-benar marah, ia pergi menjauh
ke arah sarangnya, menendang sarangnya dengan keras hingga sarang itu roboh. “Ini
semua gara-gara sarang sialan ini.” Teriaknya kesal.
Pertengkaran
hebat itu terus bertahan, semakin meradang hingga malam akhirnya datang. Z
akhirnya siuman, di dalam gua, D dan Milos menemaninya.
“Bagaimana
dengan mereka?” Tanya Z penasaran.
“Mereka
masih bertengkar.” Jawab D dengan helaan napas. “Aku meminta E untuk mengawasi
mereka.”
“Maafkan
aku!” Ucap Milos.
“Tak
apa-apa. Ini bukan salahmu. Ini hanyalah kecelakaan.”
“Semuanya
malah jadi semakin memburuk.” Milos menambahkan.
“Tak
apa, A dan B tak akan bisa bertahan lama terus seperti itu, mereka adalah
sahabat baik. Mereka pasti akan akur kembali.”
D
mengangguk membenarkan ucapan Z.
~
4.
Angin
mulai menghembuskan napas berbeda, berbeda daripada hari-hari biasanya. Z tahu
apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Hari kepulangan sudah sangat dekat, ia
melengak ke arah gumpalan awan berwarna warni yang memnuhi angkasa putih. A dan
B masih bertengkar. A memilih untuk menyendiri di dekat tebing, sedangkan B
memperbaiki jaring untuk membuat jebak. Tanpa ada perjanjian, keduanya seolah
membuat peraturan bahwa salah satu dari mereka tidak boleh melewati batas
radius kedekatan.
“Kita
tidak bermain hari ini?” tanya E yang terlihat bosan, ia membantu Z dan Milos
membuat keranjang dari dedaunan. Menjahit daun demi daun sehingga membentuk
setengah lingkaran berukuran sedang.
“Kita
tidak bisa meninggalkan A dan B.” Ucap Z sambil menunjuk ke-2 arah berbeda.
“Kita tidak tahu apakah mereka akan saling bunuh jika tidak diawasi.”
“Sebentar
lagi akan hujan.” D melengak ke angkasa.
“Kalian
harus berlindung kan.” Tebak Milos sambil tersenyum.
“Untuk
apa berlending. Hujan itu artinya bersenang-senang.” Teriak E melengak ke
langit.
“Bukan
kah kalian tidak suka air?”
Ke-3
wajah memandang ke arah Milos.
“Di
sini hujan bukan air.” Jelas Z. “Tapi...” Tak sampai selesai Z bicara D dan E
sudah berlari ke tanah lapang sambil memegang keranjang daun.
A
dan B menoleh dengan enggan. Di langit terdengar suara piano mengalun indah.
“Waktunya!”
Z bangkit sambil memegang kerangjang daun yang baru selesai dibuatnya.
Milos
memerhatikan dan memungut juga keranjang daun. Lalu mengikuti langkah Z yang
mendekat ke arah D dan E.
Awan
berwarna warni perlahan memudar. Dari baliknya berjatuhan bermacam permen dan
coklat. Milos tercengang dengan pemandangan itu, namun ia juga teringat nasihat
Ibunya untuk jangan terlalu sering makan permen dan coklat. Secara bersamaan,
rasa senang melihat pemandangan itu bercampur dengan perasaan rindu akan
Ibunya.
Ketika
hujan mereda awan-awan berubah putih, langit jadi membiru. Milos, Z, D dan E,
mengisi keranjang daun mereka, lalu mengangkutnya ke tengah sarang. A dan B
yang terlihat ingin bergabung namun malu-malu hanya menatap tak karuan.
“A,
ayo bergaung sini.” Panggil Z.
“B,
ayi.” Lambaik Milos pada B yang masih menatap ke arah mereka.
Langkah
ke-2 Beru yang saling tak sapa itu bergerak mendekat. Jelas coklat dan permen
tak bisa mereka acuhkan begitu saja, dan memakannya bersama-sama merupakan
kesenangan yang sulit untuk dilewatkan.
A
dan B memang belum saling bicara. Tapi melihat mereka duduk dalam jarang yang
tidak terlalu jauh merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Dan tak satu pun
dari mereka semua yang membicarakan tentang perdebatan
itu. Semuanya seakan membaik dengan sendirinya.
“Teman-teman.”
Tiba-tiba saja Z membuka mulut. “Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada kalian. Kalian adalah sahabat terbaik yang aku miliki di sini....”
Semua
mendnegarkan dan menunggu kalimat itu selesai.
“Aku
ingin berpamitan pada kalian. Aku akan pulang sore ini.”
Semua
Beru tertawa. “Pulang ke guamu saja kau pakai pamit segala.” Ucap E.
“Ini
bukan pulang ke gua.” Perotes Z. “Ini pulang ke tempat yang jauh.”
Milos
mulai mengerti pulang seperti apa yang dimaksud oleh Z. “Apa sore ini kawanan
ubur-ubur akan muncul.”
Semua
Beru menatap Milos dengan curiga.
“Kawanan
ubur-ubur?” Ulang B heran.
“Iya,
bukankah untuk pulang....”
Z
memotong kata-kata Milos. “M hanya bercanda.” Ia berpura-pura tertawa.
D
juga pura-pura tertawa, sedangkan Beru yang lain, masih menatap dengan curiga.
“Rubah
macam apa yang ingin pulang dengan ubur-ubur. Hanya manusia yang suka
menunggang ubur-ubur. Dan manusia....adalah makanan terenak yang sudah lama tak
kurasa.” B menjilat bibirnya dengan lidahnya yang panjang kemerahan.
Wajah
Milos dan Z langsung berubah pucat.
A
memukul kepala Milos, topi kertasnya unyak dan terlepas, tersangkut cakar A.
“Aku sudah curiga sejak awal.” Teriak A.
“Kalian
bukan rubah!” Teriak E kaget.
Milos
meloncat menjauh demiikian juga dengan Z.
“Mereka
manusia!” Ucap B dengan lidah terjulur.
Milos
dan Z berpaling, kemudian berlari dengan langkah seribu ke arah hutan.
“Kejar
mereka!” A memberi perintah.
~
5.
Matahari
rendah di ujung lautan, separuh cahayanya tenggelam menyisa rona kemerahan.
Langkah kaki di dalam hutan berlari kencang melewati semak, suara hentakan
keras bergemuruh dengan raungan marah tak kalah serunya. Milos dan Z berlari
lurus menuju pantai, diantara pohon kelapa terlihat pemandangan laut luas tak
berujung.
Dari
dalam air mencuat banyak ubur-ubur berwarna warni, bergerak ke atas menuju
awan. Namun saat Milos dan Z ingin berlari lurus, B menjegal mereka. Milos dan
Z membelok ke arah lain.
“Tangkap
mereka!” Teriak B pada A yang memotong gerakan Milos dan Z.
Ketika
A ingin menerjang, D meloncat menerjang A lebih dulu. “Cepat lari!” D menahan
pergerakan A.
“D
tahu kita manusia?” Tanya Milos tanpa berhenti berlari.
“Aku
juga tidak tahu. Tapi dia membantu kita.” Ucap Z yang meloncat melewati batang
kayu.
Sampai
Milos dan Z ke pasir pantai, langit sudah semakin gelap, matahari hampir tak
terlihat, ketika mereka mencapai tengah pasir antara hutan dan laut, beberapa
ekor pari terbang muncul dari balik pasir, bercahaya, terbang meluncur ke dalam
hutan. Milos terjengkal ketika seekor pari menabraknya begitu kencang.
Z
menyeret Milos menuju air, sedangkan A, B dan E bergerak semakin dekat. D yang
tadi sempat terlempar karena di dorong oleh A, bangkit mengejar kawanannya.
Nyeri
di kaki Milos sangat kentara, ia tak bisa berdiri, merangkak pun susah.
“Tinggalkan saja aku. Kau tak akan sempat.”
Namun
Z terus menyeretnya dengan susah payah.
Kawanan
Beru terlihat meloncat menghindari pari terbang yang melesat lurus, E
tersungkur ketika seekor pari menabraknya.
Semakin
lama jumlah ubur-ubur yang naik ke langit semakin sedikit, dan mungkin akan
segera habis.
“Kita
tak punya waktu lagi!” Milos terdengar putus asa.
Tiba-tiba
seekor pari terbang muncul di bawah tubuh Milos, mengangkatnya ke atas. Z
meloncat naik ke atas pari dan berpegangan pada tanduk pari. Saat pari melesat
lurus ke depan ke arah kawanan Beru, pegangan Milos terlepas, ia terpental
sedikit ke belakang, namun tangannya sigap menangkap ekor pari, dan ia melayang
bagaikan layang-layang putus.
“Aku
akan mengendalikan pari ini. Kau bertahanlah.” Z berteriak ke arah Milos yang
ada di belakangnya. Mereka meluncur kembali ke dalam hutan.
“A
kepung mereka.” Teriak B sambil berpaling ketika Pari yang ditunggangi oleh Z
dan Milos melesat di sampingnya.
A
meloncat coba menangkap, namun pari terlalu cepat, ia pun terbentur ke pasir. E
berlari coba mengejar, tapi langkahnya terlalu pendek untuk bisa menyaingi
kecepatan pari terbang.
Z
memiringkan tubuhnya agar pari bisa berbelok menghindari pohon kelapa. Pari
membelok dengan kencang melewati D yang berteriak menyemangati. Milos coba
bergerak sedikit demi sedikit dari ekor pari, merangkak hati-hati agar tidak
terjatuh.
“Hati-hati,
takutnya ada jebakan jaring.” Ucap Milos yang akhirnya bisa berpegangan pada Z.
“Aku
tahu. Karena aku dan D yang memasang jebakan-jebakan itu.” Z mencoba tersenyum.
Pari
sudah lebih mudah dikendalikan, memutar 360 derajat, lalu kembali menuju
pantai.
A,
B, dan E sudah menunggu siap menangkap mereka. Pari yang bercahaya akan
memudahkan kawanan Beru melihat sasaran mereka, walau sebenarnya mata mereka
tidak terlalu bagus melihat, apalagi di malam hari.
“Mereka
datang lagi!” Teriak A memperingatkan B dan E.
Milos
meliuk-liukan pari dengan gesit, menghindari E dan B yang meloncat ingin
menangkap mereka. Tak ada yang berhasil, kerja keras mereka nihil. Kini tersisa
A yang ada di depan merentangkan tangan dengan wajah marah beringas.
Pari
melesat lebih cepat, lurus ke arah A, tak bisa lagi membelok atau memperlambat
kecepatan, lurus dengan pasti. Milos dan Z berteriak kencang, pasrah tanpa
pilihan. Tabrakan itu keras tepat di perut A, membuat mereka terlontar ke depan
bersama pari yang terhempas ke atas pasir.
A
memeluk Milos dan Z sangat kencang, ia membuka mulutnya memperlihatkan taring
runcing berhias lidah merahnya. Namun belum sempat ia memasukkan Milos dan Z ke
dalam mulutnya, tubuhnya terhempas ke atas air laut. Sontak ia kaget dan
melonggarkan cengkraman tangannya. Milos dan Z terlepas. A berguling di bibir
pantai dengan bulu basah.
Milos
dan Z terlempar ke dalam air, tubuh mereka tenggelam sejenak. Beberapa ekor
ubur-ubur terlihat berenang ke permukaan, siap terbang menuju awan. Bersama-sama,
Milos dan Z berenang ke permukaan, berpegang pada seekor ubur-ubur besar dan
duduk di atasnya.
“Apa
binatang ini akan menyengat?” Tanya milos pada Z yang mengatur napas.
“Tidak.
Mereka ke awan untuk mengambil listrik dan menukarnya dengan permen.”
Milos
tunduk, bisa dilihatnya permen dan coklat di dalam tubuh ubur-ubur yang
transparan. Mereka bergerak ke atas semakin tinggi menuju langit.
“Horeeeeeeeeee.”
Suara D bersorak sambil melambai ke arah Milos dan Z.
Milos
dan Z tersenyum, membalas lambaian D. Sedangakn A masih berguling-guling di
atas pasir mengeringkan badannya. B dan E mencoba membantu A.
“Terima
kasih.” Ucap Milos pada Z yang duduk di sampingnya.
“Aku
juga, terima kasih. Akhirnya kita bisa pergi dari pulau ini.”
“Bagaimana
dengan D, apa mereka akan menyakitinya?” Milos cemas sambil melihat ke bawah.
“Kurasa
tidak, biar bagaimana pun kawanan Beru tidak akan pernah membunuh temannya
sendiri.”
“Mengapa
kau seyakin itu?”
“Contohnya
saja C, mereka sangat membenci kejahilannya. Namun setelah ia keracunan rubah
dan mati, mereka menguburkannya dengan sangat baik dan diiringi oleh deraian
air mata.”
Milos
mengangguk tanda mengerti, ia melengak ke arah awan yang semakin dekat. “Apakah
kita akan berjumpa lagi?” Suara Milos terdengar penuh harap.
“Entahlah,
dunia itu sangat luas.”
“Siapa
namamu sebenarnya. Aku yakin namamu tidak hanya Z kan?”
Z
tersenyum. Namun belum sempat menjawab, tubuh mereka sudah tenggelam ke dalam
awan, lalu terlempar ke dalam cahaya.
~
6.
Milos
terbangun ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Ia perlahan
menuju jendela. Hari itu hari minggu. Ayahnya sedang memotong rumput halaman
sedangkan Ibunya menata kebun bunga kecil yang ada di pojok halaman depan.
Milos
turun berlari, keluar menghampiri ke-2 orang tuanya, dipeluknya Ibunya
tiba-tiba sambil berbisik. “Maafkan Milos ya Bu.” Diciumnya pipi Ibunya, lalu
ia beralih pada Ayahnya. “Milos minta maaf ya Yah.” Ucapnya lagi.
Ke-2
orang tuanya heran dengan tingkah Milos. Dalam hati Milos bersyukur memiliki
orang tua yang lengkap, dan ia pun sadar ternyata hidupnya jauh lebih bahagia
dari kebanyakan orang yang pernah dijumpainya. Senyumnya bagai pelangi setelah
hujan turun deras.
“Halo!”
Suara seorang lelaki terdengar dari balik pagar depan.
Ayah
Milos mengahmpirinya.
“Numpang
nanya, alamat ini di mana ya?”
Milos
juga mendekat ke arah pagar berdiri di samping Ayahnya.
“Oh,
ini di seberang sana. Maaf, apa kalian yang kata Pak Bayu, menempati rumah
diseberang itu ya?”
“Anda
kenal dengan Pak Bayu ya?”
Ayah
Milos membuka pagar lalu keluar menyalami lelaki tadi, kemudian melanjutkan
perbincangan mereka.
Milos
memandang ke arah mobil yang sesak dengan barang-barang. Dari jendela belakang
menjenguk seorang bocah laki-laki seumuran Milos. “Ayah, apa sudah ketemu
alamatnya?”
Lelaki
yang berbincang degnan Ayah Milos melambaikan tangan.
Astaga.
Batin Milos tak percaya.
Bocah
tadi turun dari mobil. “Hai!” sapanya ramah. “Perkenalkan aku Zaki.” Ucapnya
sambil menyodorkan tangan.
Milos
masih kaget, namun tetap menyambut tangan Zaki. “Aku Milos.” Balasnya sambil
menyunggingkan senyum.[]
Comments
Post a Comment