Pespektif
Putus cinta bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah
awal baru untuk merasakan perihnya sakit hati, dan trauma untuk memulai cinta
lagi. Ini adalah hari kedua aku ditinggal pergi, kekasih yang aku cintai selama
lima tahun itu ternyata berselingkuh dan memutuskan untuk menikah dengan orang
lain. Aku tidak menyalahkannya, karena pilihannya patut aku hargai, sebab aku
tidak bisa memberikan kepastian padanya, padahal para perempuan butuh
kepastian.
Aku tidak menangisinya, sebab aku laki-laki. Merasakan sakit
hati, hal itu sudah pasti dan tak bisa aku pungkiri. Saat semua ini terjadi
orang-orang disekitar berubah jadi perduli, banyak yang menyemangati, dan
bilang Yunita akan menyesal suatu saat nanti. Lalu satu per satu dari mereka
mulai mencarikanku kekasih pengganti. Sebenarnya aku lelah dengan itu semua,
aku butuh sendiri, tapi di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa dihindari,
salah satunya adalah orang-orang yang pernah berlaku baik pada kita, menolak
mereka sama saja dengan membuang mereka. Faktanya aku masih membutuhkan mereka,
demikian juga mereka kepadaku.
Lalu suatu hari ketika aku mengikuti kelas menulis, aku
berjumpa dengan Hery—lelaki berkepala botak dengan kaca mata tebal bak bingkai
di wajahnya. Ia juga peserta sepertiku, kami berkenalan, lalu memutuskan untuk
pergi bersama meninggalkan kelas menulis. Kasusnya hampir sama sepertiku, jika
aku mengikuti kelas menulis untuk membuat diriku sibuk dan menghindar teman-temanku,
sedangkan Hery, ia terpaksa mengikuti kelas itu karena teman perempuannya
memaksanya untuk ikut dan ia tidak bisa menolak. “Ini namanya kompromi!” ucap
Hery menilai apa yang kami lakukan.
Di hari perkenalan sekaligus pelarian kami dari kelas
menulis, kami memutuskan untuk pergi nonton ke bioskop—lebih tepatnya itu ide
Hery. Kami menonton film Me And Earl And
The Dying Girl, sebuah film bagus tentang kehidupan remaja yang harus
menghadapi kenyataan bahwa teman perempuannya sedang sekarat.
Selesai menonton, Hery mengajukan petanyaan yang cukup aneh.
“Bagaimana jika aku sekarat seperti itu ya, apa kamu akan melakukan sesuatu
untukku?”
Sambil menyedot coke
yang hampir tandas, aku menjawabnya sambil tertawa. “Kitakan baru saja saling
kenal.”
“Iya juga ya, tapi tadi aku malah kepikiran jika yang
sekarat itu adalah kamu, maka aku akan melakukan apa pun agar kau bisa terus
bahagia hingga kematianmu datang.”
Aku hanya mengerutkan kening, tidak menanggapinya.
Sebenarnya aku tidak enak hati mendengar pengakuannya itu, andai saja ia
memberitahuku lebih awal jawabannya itu, mungkin aku juga akan menjawab
pertanyaan itu dengan jawaban yang hampir sama dengannya.
Nonton bioskop itu adalah awal dari segalanya, kami menjadi
sahabat baik, sering jalan bersama, menghabiskan waktu bersama, bahkan ketika
pergi ke kondangan salah satu dari teman kami pun, kami selalu bersama. Aku
merasa kami memang ditakdirkan untuk menjadi sahabat karib.
Hery orangnya sangat perhatian, baik, dan suka bicara. Ia
bisa membicarakan apa saja, mulai dari hal-hal remeh yang tidak jelas, sampai
hal-hal berbau politik dan keritik tentang agama. Ia cerdas namun aneh, ia
selalu punya sudut pandang sendiri dalam menilai banyak hal, tidak pemalu,
tidak segan mengeritikku apa pun itu.
Acap kali kami jalan bersama ia kadang menjabat tanganku,
dan saat berpisah ia memelukku seolah tidak ada hari esok untuk kami berjumpa.
Itu memang terlihat aneh bagi orang lain yang melihatnya, tapi bagiku itu bukan
masalah, karena kenyataannya hal demikian seharusnya bukanlah hal yang tabu,
sebab para perempuan melakukannya, mengapa laki-laki tidak boleh?
Dan nada-nada sumbang mulai terdengar disekitar kami,
penilaian demi penilaian kadang terdengar berlebihan, tapi Hery selalu
menganggap suara macam itu angin lalu, dan tentu saja aku juga setuju. Pada
kenyataannya apa yang orang nilai tidak selamanya benar, baik aku dan Hery,
kami adalah sahabat baik, atau bisa dibilang saudara mungkin, namun semua itu
hanya sebatas itu, tidak lebih apalagi sampai kami menjadi pasangan seperti
yang orang-orang bicarakan. Kami tetap berjalan bersama, dan tidak terjadi
apa-apa di antara kami.
Tiba-tiba saja Hery menghilang tanpa kabar, kucoba
menelopnnya tapi tidak pernah tersambung, demikian juga dengan pesan singkat
yang aku kirim tak pernah berbalas. Seketika itu juga aku merasa hampa, aku
merindukannya, tapi tak punya nyali untuk berkunjung ke rumahnya. Aku takut ia
sengaja menjauhiku, dan mungkin sudah bosan berteman denganku. Aku mulai
berprasangka seperti kebanyakan orang, dan itu ternyata cukup menyakitkan.
Suatu hari Ayah Hery muncul di depan rumahku, ia menjemputku
dan memberitahuku bahwa anaknya ingin berjumpa denganku. Aku menurut saja tanpa
bertanya, karena ekspresi murung di wajah lelaki itu membuat aku segan membuka
tanya. Dan sesampainya kami di rumahnya, aku cukup terkejut ketika mendapati
Hery terbaring lemah di atas tempat tidurnya, ia pucat dan terlihat sekarat.
Saat kami ditinggal berdua di dalam kamar itu, aku berbaring
di samping Hery, memiringkan badanku agar aku bisa melihatnya. Ia tersenyum
kepadaku, dan aku bisa merasakan bahwa senyumnya itu bercampur sakit yang ia
tahan.
“Maafkan aku,” ucapnya.
“Untuk apa?”
“Tidak apa-apa,” lanjutnya lagi.
Aku tidak menanyakan ia sakit apa, aku juga tidak
menghujaninya dengan pertanyaan mengapa ia tidak memberikan kabar. Aku hanya
berbaring di sana, memegang tangannya dan berharap ia cepat sembuh.
Kemudian ia berbisik. “Maafkan aku jika aku mati.”
Aku menatapnya lekat, lalu menghembuskan nafas resahku. “Apa
aku bisa berjanji untukmu?”
“Janji apa?”
“Berjanji agar kau tidak mati,” ucapanku terdengar seperti
gurauan.
Ia tersenyum lalu melarikan pandangannya dariku. Aku tahu ia
seperti ingin menangis, namun radang di matanya sangat kuat di tahannya,
mungkin karena ia laki-laki, dan laki-laki tidak boleh menangis.
Saat pulang dari rumahnya, aku sadar bahwa Hery sedang
sekarat, mungkin tak lama lagi ia akan mati. Tapi aku sudah berjanji untuknya
agar ia tidak akan mati, janji yang mustahil bisa aku tepati. Dan ketika ia
mati, aku tak mampu menahan air mataku, aku menangis sejadi-jadinya dan
bersedih dalam waktu yang sangat lama.
Ternyata laki-laki tidak salah jika ingin menangis,
laki-laki menangis bukanlah hal yang tabu. Apalagi menangis untuk seseorang
yang kita sayangi, seseorang yang baik dan sangat berarti di hati kita. Saat
memikirkan ini aku bersyukur atas air mataku, sebab tangisku hanya bisa aku
berikan untuk sahabat baikku, bukan untuk kekasih yang sudah tega
menghianatiku.[]
Keren Kaka..
ReplyDeleteThks ya udah mampir :)
ReplyDelete