Konspirasi Alam Semesta
Sudah dipastikan aku menjadi seorang pembangkang, karena kegelisahanku tak bisa diterima oleh setiap orang yang ada di jengkal mataku. Setiap kataku adalah salah, setiap lakuku dianggap marah, lalu kemana lagi aku bisa berserah? Kepada langit yang dijunjung oleh awan, kepada malam yang dipeluk oleh pahit, kepada diriku sendiri yang dipandang jalang macam binatang. Tuhan . . ., akhirnya aku mengetuk pintu-Mu, meminta perlindungan dari-Mu, walau aku tahu sedari dulu aku terlalu banyak menyakiti-Mu ~ Aku menulis monolog itu ketika aku berada di dalam kapal taksi yang akan membawa ku pergi ke Samarinda. Aku duduk di bagian haluan tingkat dua kapal, memandang cakrawala luas yang hampir senja. Riak air mahakam yang dibelah oleh haluan kapal terdengar jelas walau suara mesin kapal bergemuruh tiada henti. Pepohonan yang tumbuh di sepanjang tepian sungai menggelap ditelan bayangan. Secara sadar aku merasakan sedih mengalir begitu kuat di dadaku, lalu naik menyesak menyerang pernafasanku,...