Lelaki Kehausan & Perempuan Menyusui

Abdulah yang dituduh mencuri sebiji kurma milik Raja, melarikan diri dari kota. Semua orang tahu bahwa Raja sangatlah kejam, kekejamannya itu sangat terkenal di jagat raya. Raja pernah menghukum mati pamannya sendiri hanya karena pamannya mendapatkan sebuah hadiah—berupa buku 1001 malam—dari kerajaan lain, pamannya itu dianggap berhianat.
Abdulah lari kepadang gurun gersang, disebuah tempat yang tak pernah dilewati oleh pengembara mana pun. Ia hanya berbekal beberapa potong roti dan dua kantong air. Abdulah bergerak mengikuti arah matahari tenggelam, sebab kota asalnya berada di arah matahari terbit, oleh karena itu ia hanya bisa melanjutkan pelariannya di siang hari yang terik.
Lebih seminggu ia berjalan, tapi belum juga menemukan sebuah kota yang katanya berada di arah matahari tenggelam. Bekalnya makin menipis, hingga akhirnya habis. Ia tak pernah tahu seberapa jauh lagi harus berjalan, perutnya yang lapar hanya mampu dibelit dengan kain, kehausan tak bisa ditawari, mungkin tak lama lagi ia akan mati.
Ditengah terik matahari, langkahnya sempoyongan, di dalam hati ia tak henti berdoa pada Tuhan meminta pertolongan. Dan di kejauhan, terlihat sebuah sumur yang samar bagai bayangan.  Sumur itu benar adanya, bukanlah fatamorgana, namun sialnya sumur itu kering.
Putus sudah harapan Abdulah, ia bersandar pada sebuah batu dekat sumur, memandangi langit yang luas. Dalam hati ia berucap bahwa ia sudah siap untuk mati jika Tuhan menghendaki. Tiba-tiba suara tangis terdengar dari dalam sumur, tangis seorang bayi. Mulanya Abdulah menyangka ia sedang berhalusinasi, tetapi semakin lama tangis tadi semakin jelas dan keras.
Abdulah kembali merapat pada sumur, menjenguk ke dalam mencari-cari asal muasal tangis bayi tadi. Tak ada apa pun disana kecuali pasir dan bebatuan yang menghiasi dinding sumur. Dengan tenaga yang tersisa, Abdulah memanjat turun ke dalam sumur, ia sempat tergelincir karena tumpuan kakinya sudah lemah, jatuh terhempas ke dasar sumur yang beralas pasir. Untunglah sumur tadi tidak terlalu dalam, jadi nyeri di punggungnya akibat terhempas tidak begitu kentara.
Dari dasar sumur ia baru menyadari bahwa ada sebuah goa, dari goa itulah suara tangis bayi berasal. Sambil membungkuk Abdulah menyusuri ;lorong goa sampai akhirnya tangis bayi tadi terdengar sangat dekat. Di balik sebuah batu, terbaring seorang perempuan dengan payudara terjuntai tanpa ditutup kain, disamping perempuan tadi berbaring seorang bayi yang sedari tadi terus menangis.
Perempuan tadi pucat, tatapannya lelah kearah Abdulah.
Abdulah menghampirinya, dengan gugup ia bertanya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Dengan lemah perempuan tadi mengarahkan puting susu pada bayinya agar si bayi berhenti menangis. “Tolong,” ucapnya lirih pada Abdulah.
Abdulah jadi gusar.
“Tolong selamatkan anakku ini,” mohon perempuan tadi.
“Aku tidak bisa menolongmu,” ujar Abdulah. “Aku saja kehausan hampir mati, tak lagi punya bekal.”
“Sepuluh kilometer dari sini menuju matahari tenggelam ada sebuah kota,” dengan susah payah perempuan tadi bicara. “Tapi aku tidak bisa kembali kesana, orang-orang telah mengusirku dari sana.”
Abdulah duduk di hadapan perempuan tadi. “Mengapa mereka mengusirmu dari kota?”
“Sebab aku sudah melahirkan seorang anak tanpa bapak.”
Abdulah diam seakan sedang menimbang-nimbang.
“Kumohon bawalah anakku bersamamu.”
“Aku tak bisa. Sudah kubilang aku kehabisan bekal, aku kehausan dan tak mungkin punya tenaga menempuh jalan sejauh itu, apalagi jika ditambah membawa bayimu.”
Perempuan tadi memegang payudaranya. “Air susuku masih cukup banyak, jika kau mau membawa anakku bersamamu, maka kau boleh mengisapnya.”
Tambah gusar hati Abdulah, selama hidupnya ia belum pernah menyentuh perempuan mana pun, dan ia pun tahu bahwa itu perbuatan dosa. “Aku takut dosa,” ucapnya jujur.
“Tuhan maha mengerti, tidaklah Tuhan mempertemukan kita jika bukan agar kau tidak mati kehausan dan anakku bisa selamat dari gurun ini.”
Cukup lama Abdulah berpikir, berkali-kali memohon ampun kepada Tuhan dalam hati. Abdulah berbaring di samping perempuan tadi, memegang payudara putih dan lembut itu, kemudian mengisapnya pelan-pelan. Ia mengisap payudara sebelah kanan sedangkan si bayi menyusu di sebelah kiri.
Rasa haus sudah tertawar, Abdulah kembali merasa segar. Perempuan tadi semakin pucat, matanya tertutup, nafasnya semakin pelan. Diikat Abdulah bayi tadi di punggungnya dengan kain yang sebelumnya digunakan untuk membelit perut, kemudian ia memanjat keluar sumur. Perempuan tadi ditinggalkannya, dan ia kembali menyusuri padang gurun menuju kearah matahari tenggelam.
Suara tangis bayi menggema di sepanjang gurun, Abdulah terus bergerak berharap segera menemukan kota yang dikatakan perempuan tadi. Kala itu langit sudah senja, matahari hampir tenggelam, setelah menaiki bukit pasir yang cukup tinggi, puncak-puncak bangunan terlihat samar.

Sedikit senyum tersungging di wajah Abdulah. “Kita sudah sampai,” ucapnya pada bayi yang tidak kunjung berhenti menangis.[]

Comments

  1. Kalo saya yang jadi tuhan cerpen ini, mungkin si wanita akan saya bawa juga... tapi takdir berkata lain :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang tidak semua yang kita harapkan diinginkan oleh Tuhan, thks sudah mampir :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd