Orang Paling Berdosa

Waktu kecil aku diasuh oleh bik Yani, perempuan asal jawa yang merantau ke Kalimantan. Kata ibu, bik Yani bekerja di rumah sejak Bang Arif berusia 3 tahun. Karena ibu dan bapak jarang di rumah sibuk bekerja, sedangkan bang Arif kuliah di Bandung, maka hampir semua waktuku dihabiskan bersama bik Yani.
Bik Yani mengasuhku dengan kasih sayang, memanjakanku seperti anaknya sendiri. Kata ibu dari bayi hingga akhirnya aku bisa berjalan, aku lebih suka digendong oleh bik Yani, tidur juga lebih suka bersamanya sebab seingatku ia sangat handal dalam mendongeng. Hingga aku kelas 6 SD ia masih menyuapiku makan, mendengarkan curhatanku apabila aku punya masalah. Di mataku, bik Yani sudah seperti ibuku sendiri.
Ketika aku SMA, bik Yani berhenti bekerja di rumahku, ia kembali ke Jawa, dan setelah itu aku tak lagi pernah melihatnya. Tidak tahu alamat rumahnya dan juga nomor telepon yang bisa dihubungi.
Memasuki akhir kuliah, tiba-tiba sebuah surat datang untukku, surat itu dari buk Yani, isinya kebanyakan tentang kenangan yang katanya tidak bisa ia lupakan saat mengasuhku dulu, dan di akhir surat ia menulis bahwa ia sangat merindukanku.
Lewat surat itulah aku akhirnya mengunjunginya, namun ketika aku sampai di alamat tadi, aku tidak berjumpa dengan bik Yani. Ia sudah meninggal dua hari setelah ia mengirim surat untukku, kata orang sekitar ia sudah lama sakit.

Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri dan merasa menjadi orang paling berdosa di dunia ini, aku menyesal karena tak bisa memberikannya apa pun seperti ia menyayangiku sepenuh hati. Sebagai manusia aku merasa gagal.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd